Jakarta, MaritimKliknews.com Indonesia – Industri Galangan Kapal saat ini mengalami kendala serius, mulai dari minimnya order kapal baru hingga hantaman melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sehingga masih banyak perusahaan galangan kapal yang kondisi keuangannya parah.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan kondisi industri galangan kapal ini sudah parah dari 5-10 tahun terakhir. Dimana banyak perusahaan hanya mengambil bisnis reparasi.
“Industri galangan kapal nasional itu nggak sehat. Hanya bisnisnya reparasi, docking-docking saja. Order kapal baru ya nol,” kata Siswanto kepada CNBC Indonesia, Senin (1/8/2022).
Menurut dia perusahaan pelayaran banyak yang hanya mampu membeli kapal bekas dari luar negeri lalu di reparasi di galangan yang ada di Indonesia. Sehingga itu yang menjadi penyambung nafas hidup dari perusahaan galangan.
“Terakhir orderan banyak itu tahun 2016/2017, saat program tol laut dari pemerintah, itu pun programnya saat ini selesai dan 100 kapal sudah keluar semua. kalaupun ada itu hanya kapal kecil seperti speed boat, itu pun nggak membuat galangan gembira,” kata Siswanto ini.
Meski begitu perpanjangan orderan reparasi kapal juga tidak merata pada seluruh pengusaha galangan kapal. Dimana banyak perusahaan galangan kapal yang kecil mengalami kesulitan keuangan.
“Kita ini juga banyak order itu untuk perusahaan bonafide atau yang besar besar seperti PT PAL, lalu galangan yang kecil-kecil ini hidup segan mati pun tak mau,” katanya.
“Di Batam banyak tutup terutama galangan kapal modal asing, itu karena turunnya order kapal juga dari luar negeri,” tambahnya.
Setidaknya dari catatannya hanya ada 10-15 perusahaan galangan kapal yang besar dari 200 perusahaan yang terdaftar. Sementara sisanya masih mengalami permasalahan finansial.
Menurut dia salah satu cara untuk mendorong industri ini dengan cara pemberian insentif suku bunga rendah untuk perusahaan pelayaran untuk meremajakan kapal. Saat ini suku bunga untuk kredit kapal dinilai mencapai dua digit, beda di luar negeri hanya satu digit.
Hal ini disebabkan perbankan masih melihat industri ini memiliki risiko tinggi bahkan membuat perusahaan pelayaran sulit untuk mendapatkan kredit.
“Ada anggapan bisnis kapal itu risikonya bisnis, karena kapal dijadikan agunan di bank ini sulit diterima karena sifatnya barang bergerak. Itu gimana nanti sitanya. makanya dikasih bunga tinggi karena profil bisnisnya tinggi. Bahkan pengusaha diminta memberi jaminan tambahan seperti rumah dan lainnya dalam pinjam meminjam untuk bisnis kapal,” tuturnya.
Selain itu Siswanto menjelaskan melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar AS juga turut memberi tekanan terhadap industri galangan kapal. Dimana 80% lebih komponen pembuatan kapal diimpor dari luar negeri.
“Itu lebih dari 80%, impor mesin, sistem radar, dan sebagainya. Bahkan plat yang tadinya kita produksi tapi jadi makin mahal akhirnya harus diimpor. Itu memberi hantaman juga,” katanya.